Citra digital dapat didefinisikan sebagai fungsi dua variabel, f(x,y), dimana x dan y adalah koordinat spasial dan nilai f(x,y) adalah intensitas citra pada koordinat tersebut, hal tersebut diilustrasikan pada gambar dibawah ini . Teknologi dasar untuk menciptakan dan menampilkan warna pada citra digital berdasarkan pada penelitian bahwa sebuah warna merupakan kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue - RGB).

Dasar Warna

RGB adalah suatu model warna yang terdiri dari merah, hijau, dan biru, digabungkan dalam membentuk suatu susunan warna yang luas. Setiap warna dasar, misalnya merah, dapat diberi rentang-nilai. Untuk monitor komputer, nilai rentangnya paling kecil = 0 dan paling besar = 255. Pilihan skala 256 ini didasarkan pada cara mengungkap 8 digit bilangan biner yang digunakan oleh mesin komputer. Dengan cara ini, akan diperoleh warna campuran sebanyak 256 x 256 x 256 = 1677726 jenis warna. Sebuah jenis warna, dapat dibayangkan sebagai sebuah vektor di ruang 3 dimensi yang biasanya dipakai dalam matematika, koordinatnya dinyatakan dalam bentuk tiga bilangan, yaitu komponen-x, komponen-y dan komponen-z. Misalkan sebuah vektor dituliskan sebagai r = (x,y,z). Untuk warna, komponen-komponen tersebut digantikan oleh komponen R(ed), G(reen), B(lue). Jadi, sebuah jenis warna dapat dituliskan sebagai berikut: warna = RGB(30, 75, 255). Putih = RGB (255,255,255), sedangkan untuk hitam= RGB(0,0,0).

representasi warna.JPG


Citra Gray

Graysacale adalah warna-warna piksel yang berada dalam rentang gradasi warna hitam dan putih.

Color Dialog.JPG





Pada Color Dialog seperti yang terlihat pada gambar diatas, jika memilih warna solid hitam, putih, atau abu-abu, maka akan berada dalam pita warna Grayscale. Apabila tanda panah digeser ( ke atas menuju putih atau ke bawah menuju ke hitam ) maka red, green dan blue akan memberikan nilai yang sama. Untuk pengubahan warna image menjadi grayscale, cara yang umumnya dilakukan adalah dengan memberikan bobot untuk masing-masing warna dasar red, green, dan blue. Tetapi cara yang cukup mudah adalah dengan membuat nilai rata-rata dari ketiga warna dasar tersebut dan kemudian mengisikannya untuk warna dasar tersebut dengan nilai yang sama ( seperti pada contoh color dialog di atas )

citra asli dan citra gray.JPG





Citra Biner

Citra biner diperoleh melalui proses pemisahan piksel-piksel berdasarkan derajat keabuan yang dimilikinya. Piksel yang memiliki derajat keabuan lebih kecil dari nilai batas yang ditentukan akan diberikan nilai 0, sementara piksel yang memiliki derajat keabuan yang lebih besar dari batas akan diubah menjadi bernilai 1.



citra asli, citra gray dan citra biner.JPG

PERSAMAAN 2.1.JPG

Jika a1 =0 dan a2 = 1, maka operasi ini akan mentransformasikan suatu citra menjadi citra biner. Misal suatu citra memiliki gray level 256, dipetakan menjadi citra biner, maka fungsi fungsi trasformasinya adalalah sebagai berikut:

PERSAMAAN 2.2.JPG



pixel-pixel yang nilai intensitasnya di bawah 128 diubah menjadi hitam (nilai intensitas = 0), sedangkan pixel-pixel yang nilai intensitasnya di atas 128 diubah menjadi putih (nilai intensitas =1).





Median Filter

Median filter merupakan salah satu jenis low-pass filter, yang bekerja dengan mengganti nilai suatu piksel pada citra asal dengan nilai median dari piksel tersebut dan lingkungan tetangganya.



Dasar Pengolahan Citra Digital

Pengolahan citra (image processing) merupakan proses mengolah pikselpiksel dalam citra digital untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa alas an dilakukannya pengolahan citra pada citra digital antara lain :



1. Untuk mendapatkan citra asli dari suatu citra yang sudah buruk karena pengaruh derau. Proses pengolahan bertujuan mendapatkan citra yang diperkirakan mendekati citra sesungguhnya.



2. Untuk memperoleh citra dengan karakteristik tertentu dan cocok secara visual yang dibutuhkan untuk tahap lebih lanjut dalam pemrosesan analisis citra. Dalam proses akuisisi, citra yang akan diolah ditransformasikan dalam suatu representasi numerik. Pada proses selanjutnya representasi tersebutlah yang akan diolah secara digital oleh komputer. Pengolahan citra pada umumnya dapat dikelompokkan dalam dua jenis kegiatan, yaitu :



1. Memperbaiki citra sesuai kebutuhan

2. Mengolah informasi yang terdapat pada citra



Kegiatan yang kedua ini sangat erat kaitannya dengan computer aided analysis yang umumnya bertujuan untuk mengolah suatu objek citra dengan cara mengekstraksi informasi penting yang terdapat di dalamnya. Dari informasi tersebut dapat dilakukan proses analisis dan klasifikasi secara cepat memanfaatkan algoritma perhitungan komputer. Dari pengolahan citra diharapkan terbentuk suatu sistem yang dapat memproses citra masukan hingga citra tersebut dapat dikenali cirinya. Pengenalan ciri inilah yang sering diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Aplikasi yang dibahas pada laporan ini adalah dasar dari aplikasi yang dapat dipergunakan dalam berbagai bidang, misalnya bidang agro, bidang perdagangan, dll.

Operasi Pengolahan Citra

Operasi-operasi yang dilakukan dalam pengolahan citra banyak ragamnya, namun secara umum operasi pengolahan citra dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis sebagai berikut:



1. Perbaikkan Kualitas Citra (image enhancement)

Jenis operasi ini bertujuan untuk memperbaiki citra dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra. Dengan operasi ini, cirri-ciri khusus yang khusus yang terdapat didalam citra lebih ditonjolkan.

Contoh-contoh operasi perbaikkan citra:

a. Perbaikkan kontras gelap/terang

b. Perbaikkan tepian objek (edge enhancement)

c. Penajaman (sharpening)

d. Pemberian warna semu (pseudocoloring)

e. Penapisan derau (noise filtering)



2. Pemugaran Citra (image restoration)

Operasi ini bertujuan menghilangkan cacat pada citra. Tujuan pemugaran citra hampir sama dengan operasi perbaikkan citra. Bedanya, pada pemugaran citra penyebab degradasi gambar diketahui.

Contoh-contoh operasi pemugaran citra :

a. Penghilangan kesamaran (deblurring)

b. Penghilangan derau (noise)



3. Pemampatan Citra (image compression)

Jenis operasi ini dilakukan agar citra dapat direpresentasikan dalam bentuk yang lebih kompak sehingga memerlukan memori yang lebih sedikit. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemampatan citra adalah citra yang telah dimampatkan harus tetap mempunyai kualitas gambar yang bagus.



4. Segmentasi Citra (image segmentation)

Jenis operasi ini bertujuan untuk memecah suatu citra kedalam beberapa segmen dengan suatu criteria tertentu. Jenis operasi ini berkaitan erat dengan pengenalan pola.



5. Pengorakan Citra (Image Analysis)

Jenis operasi ini bertujuan menghitung besaran kuantitif dari citra untuk menghasilkan diskripsinya. Tehnik pengolahan citra mengekstraksi cirri-ciri tertentu yang membantu dalam identifikasi objek. Proses segmentasi kadang kala diperlukan untuk melokalisasi objek yang diinginkan dari sekelilingnya.

Contoh-contoh operasi pengorakan citra :

a. Pendeteksian tepian objek (edge detection)

b. Ekstraksi batas (boundary)

c. Representasi Daerah (region)



6. Rekonstruksi Citra (Image Reconstruction)

Jenis operasi ini bertujuan untuk membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi. Operasi rekonstruksi citra banyak digunakan dalam bidang medis.



Perspektif dan Transformasi Citra

Koordinat Kamera dan Koordinat World

Suatu citra diperoleh dari suatu obyek. Sistem koordinat dapat dinyatakan ke dalam bentuk

Bila kedua sistem sumbu (camera dan world) pada gambar diatas dihimpitkan, maka obyek (pada ruang world) dan bayangan (pada bidang citra) akan membentuk segitiga sama dan sebangun sehingga, bentuk transformasi dari koordinat 3D world (X,Y,Z) ke koordinat kamera (x,y,z) adalah sbb PERSAMAAN 3.JPG

Penggunaan Teknik Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan Dalam Bidang Pertanian


ABSTRAK

Buah manggis merupakan salah satu buah yang prospektif untuk ekspor. Mutu buah manggis ditentukan oleh berbagai parameter diantaranya adalah parameter tingkat ketuaan dan kematangan (indeks warna) serta ukuran. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan cara sortasi tanpa merusak (non destructive test) untuk tingkat ketuaan dan kematangan manggis menggunakan pengolahan citra dan jaringan syaraf tiruan. Pengolahan citra dikembangkan berdasarkan umur petik dan warna buah. Sebuah CCD kamera dengan penangkap citra digunakan untuk menangkap citra pada resolusi 256 x 192 pixel. Dari data pengolahan citra kemudian diolah menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) dengan konstanta momentum 0,8, dan fungsi aktivasi 1 serta dilatih sampai 10000 iterasi pada lapisan tersembunyi 3, 6, 9, 12 dan 15 simpul lapisan tersembunyi. Hasil penelitian menunjukkan nilai JST yang paling ideal untuk memprediksi ketuaan dan kematangan manggis adalah menggunakan parameter hasil pengolahan citra sebagai data masukan (area, hue, saturasi, intensitas, kontras, homogenitas, entropi dan energi) dan dapat menentukan ketuaan dan kematangan manggis dengan tingkat keakuratan yang tinggi (93,7%).

Kata kunci : manggis, algoritma, mutu, pengolahan citra, jaringan syaraf tiruan

Teknik pengolahan citra telah banyak dipergunakan dalam bidang pertanian antara lain penentuan jenis cacat biji kopi, pemutuan edamame, pemeriksaan mutu karet RSS, pemutuan buah mangga, identifikasi tingkat ketuaan dan kematangan jeruk lemon dan manggis.
Sofi’i dkk (2005) melakukan penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan citra untuk mengetahui cacat kulit biji kopi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0. Masukan dari program pengolahan citra adalah frame foto dari berbagai jenis cacat kopi dan kode-kode biner jenis cacat yang telah ditentukan terlebih dahulu. Keluaran program pengolah citra adalah data-data numerik seperti luas, panjang, roundness, compactness, indeks merah, indeks hijau, indeks biru, hue (corak), saturasi, dan intensitas. Selanjutnya data keluaran tersebut digunakan sebagai data training untuk program training ANN (Artificial Neural Network). Dari penelitian telah dibangun 2 model ANN untuk pendugaan 26 jenis cacat biji kopi. Model pertama dengan 10 parameter penduga yaitu luas, panjang, roundness, compactness, indeks merah, indeks hijau, indeks biru, hue (corak), saturasi, dan intensitas dengan akurasi rata-rata sebesar 72,6% dan model ke dua dengan 5 parameter penduga yaitu luas, panjang, roundness, saturasi, dan intensitas dengan akurasi rata-rata 68,2%. Namun beberapa jenis cacat sulit dikenali karena tidak dapat dibedakan dengan nilai parameter penduga yaitu rata-rata nilai indeks merah, indeks hijau, indeks biru, hue, saturasi, dan intensitas yang serupa.
Penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan citra juga dilakukan dalam pemutuan hasil pertanian. Soedibyo dkk (2006) melakukan penelitian dengan teknik pengolahan citra untuk menentukan mutu edamame. Pengolahan citra yang dilakukan dalam penelitian ini memiliki dua tahap yaitu tahap pertama yang bertujuan melakukan analisa citra untuk menentukan parameter mutu berupa panjang polong, area polong, perimeter, area cacat, indeks merah (r) dan indeks hijau (g). Tahap yang kedua bertujuan melakukan analisa parameter mutu dan sekaligus menunjukkan kelas mutu dari sampel yang dianalisis. Proses perekaman citra dilakukan dengan menggunakan webcam yang dihubungkan dengan komputer. Program pengolahan citra yang digunakan dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman Borland Delphi 7.
Ahmad dkk (2004) juga melakukan penelitian dengan teknik pengolahan citra untuk menentukan mutu mangga. Dalam penelitian ini, pengolahan citra dilakukan secara langsung setelah pengambilan citra dilakukan tanpa perlu menyimpannya terlebih dahulu (real time). Pengambilan data dilakukan pada tiap contoh yang meliputi data area, intensitas warna yang ditandai dengan indeks RGB, dan empat macam fitur tekstur (kontras, homogenitas, energi, dan entropi) untuk setiap tingkatan kelas mutu yang berbeda. Algoritma pengolahan citra meliputi pengambilan citra, penyimpanan citra, binerisasi berdasarkan nilai threshold tertentu, labeling atau penandaan obyek, perhitungan area, penentuan titik tengah obyek, perhitungan indeks RGB dan perhitungan fitur tekstur.
Ahmad dkk (2006) juga melakukan penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan citra dalam pemeriksaan mutu karet asapan. Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu karakteristik warna permukaan karet asapan atau ribbed smoke sheet (RSS) yang dianalisis menggunakan pengolahan citra dapat digunakan sebagai parameter mutu untuk keperluan sortasi dan pemutuan karet RSS berdasarkan warna. Indeks warna biru dari model RGB dapat digunakan untuk mengklasifikasikan mutu RSS dengan kesesuaian yang cukup tinggi.
Pengolahan citra juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat ketuaan dan kematangan hasil pertanian. Damiri dkk (2004) melakukan penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan citra untuk mengidentifikasi tingkat ketuaan dan kematangan jeruk lemon (Citrus Medica). Pengolahan citra dilakukan dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0. Pengukuran yang dilakukan dengan metode pengolahan citra adalah pengukuran area, roundness, pengukuran intensitas warna serta pengukuran fitur tekstur. Pengukuran area dan roundness dilakukan dengan cara mengubah citra warna menjadi citra biner dengan tujuan membedakan obyek dengan latar belakangnya. Citra kemudian dianalisis faktor bentuknya yang dinamakan roundness. Area obyek dihitung dengan cara menghitung jumlah piksel obyek yang berwarna putih. Intensitas warna yang diukur adalah merah, hijau, dan biru (RGB). Model warna yang digunakan adalah model warna RGB dan HSI. Fitur obyek yang dianalisa adalah energi, kontras, homogenitas, serta entropi.
Prianggono dkk (2005) juga melakukan penelitian dengan menyusun algoritma pengolahan citra untuk mendeteksi jeruk lemon (Citrus Medica). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari, mengkaji, dan menganalisis karakteristik sinyal-sinyal warna dalam model warna RGB dan HSI dari citra buah jeruk lemon 120 hari setelah bunga mekar dan latarnya sehingga didapatkan parameter warna yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memisahkan antara buah jeruk lemon dan latarnya. Dari hasil pembacaan citra berwarna dengan program bahasa C, maka didapat informasi nilai RGB (merah, hijau, dan biru) pada tiap piksel citra tersebut. Nilai ini kemudian diolah untuk mendapatkan nilai indeks RGB dan model HSI yang selanjutnya digunakan untuk keperluan analisis. Dari hasil analisis pada tiap titik piksel obyek dan latar maka bisa didapat perkiraan nilai yang sesuai untuk digunakan sebagai sarana pemisah citra obyek dan latar belakang. Pemisahan dikatakan berhasil jika citra biner buah jeruk lemon hasil thresholding dengan algoritma yang dikembangkan telah terpisah dengan citra biner latarnya.
Penelitian dengan menggunakan teknik pengolahan citra juga dilakukan oleh Nurhasanah dkk (2005) untuk mengidentifikasi tingkat ketuaan dan kematangan manggis. Citra manggis dalam berbagai tingkat ketuaan atau kematangan diambil dengan menggunakan kamera. Pengolahan citra dilakukan secara real time meliputi perhitungan luas, indeks RGB dan HSI serta empat komponen tekstur. Pengukuran intensitas warna diukur dengan menggunakan model warna RGB dan HSI. Nilai RGB dan HSI merupakan rata-rata dari semua nilai RGB dan HSI dari obyek. Pengukuran tekstur dilakukan dengan menggunakan empat feature yaitu energi, kontras, homogenitas dan entropi.


Daftar Pustaka

Ahmad, U, Subrata, D.M, dan Gunayanti, S. 2004. Pemutuan Buah Mangga Berdasarkan Penampakannya Menggunakan Pengolahan Citra. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 18 No.1.
Ahmad, U, Riadi, F, dan Subrata, D.M. 2006. Pemeriksaan Mutu Karet RSS Menggunakan Pengolahan Citra. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 20 No. 3.
Damiri, D.J, Ahmad, U, dan Suroso. 2004. Identifikasi Tingkat Ketuaan dan Kematangan Jeruk Lemon (Citrus Medica) Menggunakan Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan. Jurnal Keteknikan Pertanian, Vol 18 No.1 April 2004.
Nurhasanah, A, Suroso, dan Ahmad, U. 2005. Identifikasi Tingkat Ketuaan dan Kematangan Manggis Menggunakan Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 19 No. 3.
Prianggono, J, Seminar, K.B, Purwadaria, H.K, Ahmad, U, dan Subrata, D.M. 2005. Algoritma Pengolahan Citra Untuk Deteksi Jeruk Lemon (Citrus Medica) Menggunakan Kamera Online. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 19 No. 3.
Soedibyo, D.W, Subrata, D.M, dan Ahmad, U. 2006. Pemutuan Edamame Menggunakan Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 20 No. 3.
Sofi’I, I, Astika, W, dan Suroso. 2005. Penentuan Jenis Cacat Biji Kopi Dengan Pengolahan Citra dan Artificial Neural Network. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 19 No. 2.

































Abstract: Biometric as one of identification or recognition person techniques that based on uniquely part
of human body. Voice one of uniquely human has. Voice signal that come out from different speakers give
different voice pattern. Because of high variations used neural network (NNW)for matching the patterns.
Before voice data is processed using NNW it’s processed using digital processed through feature extraction
phase using discrit wavelet orthogonal base 4 orders with 10 and 15 decomposition rate. The result of
NNW is processed by model decision maker that determine speaker identification. The result of experiment
shows system biometric built can identify as high as 86%
Keywords: Voice Biometric, Wavelet Transformation, Orthogonal Daubenchies, NNW, Decompositione Rate

Biometrik merupakan studi tentang metode otomatis untuk mengenali atau mengidentifikasi manusia berdasarkan satu atau lebih bagian tubuh manusia atau kelakuan dari manusia itu sendiri.Dalam dunia teknologi informasi, biometrik relevan dengan teknologi yang digunakan untuk menganalisa fisik dan kelakuan manusia untuk autentifikasi. Contohnya dalam pengenalan fisik manusia yaitu dengan pengenalan sidik jari, retina, iris, pola dari wajah (facial patterns), tanda tangan dan cara mengetik (typing patterns) serta suara. Beberapa hal yang mendorong penggunaan identifikasi secara biometrik adalah biometrik bersifat universal (terdapat pada setiap orang), unik (tiap orang mempunyai ciri khas tersendiri), dan tidak mudah dipalsukan (Xafopoulos, 2001). Dengan teknik biometrik seseorang tidak harus membawa manusia lebih unggul. Suatu teknik yang dibuat dengan memodelkan otak manusia adalah Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau artificial neural network. Seperti pada otak manusia, JST terdiri atas neuronneuron yang saling berhubungan yang dapat bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk membentuk suatu sistem. Jaringan syaraf tiruan dapat belajar untuk mengenali suatu pola melalui pembelajaran dan diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah yang bersifat nonalgorithmic. Penelitian mengenai identifikasi pembicara telah banyak dilakukan dengan berbagai metode pemrosesan sinyal, seperti Linier Prediction Coding (LPC), Mel Frequency Cepstrum Coefficients (MFCC), Neural Predictive Coding (NPC), dan sebagainya, yang mana keseluruhan metode diatas berbasiskan Transformasi Fourier, dan tingkat identifikasinya telah mencapai 100%, berikut adalah metode-metode yang telah diterapkan dengan tingkat identifikasi yang telah dicapainya, dituangkan dalam bentuk Tabel 1 (Chetouani,
2004).
Tabel 1 Metode-metode yang Digunakan Penelitian Sebelumnya.

Sumber: Universite Pierre&MarieCurie, LA Science A Paris,
2004
Namun, masih banyak kelemahan yang dimiliki transformasi fourier diantaranya, kurang mampu Metode identifikasi pembicara yang merupakan bagian dari pengenalan pembicara (Gambar 1), dapat dibagi ke dalam metode text-independent dan textdependent. Pada sistem text-independent, model
pembicara meng-capture karakteristik ucapan seseorang melalui sinyal ucapan dengan mengabaikan
apa yang diucapkannya, dalam artian katakata yang diucapkan sembarang (bebas). Sebaliknya pada sistem text-dependent, pengenalan identitas pembicaranya didasarkan pada ucapan seseorang dengan kata-kata yang spesifik atau telah disepakati, seperti password, card numbers, kode PIN dan sebagainya(mudry,1997)

Semua sistem identifikasi pembicara melalui dua proses penting yaitu feature extraction dan
feature matching. Feature extraction merupakan proses mengekstraksi data hasil akuisisi sehingga dihasilkan data yang berdimensi lebih kecil, yang nantinya digunakan untuk merepresentasikan tiaptiap pembicara. Feature matching menyangkut prosedur aktual yang mengidentifikasi pembicara
yang tidak dikenal dan membandingkan fitur ekstraksi suara yang dimasukan dengan salah satu
dari himpunan pembicara yang telah dikenal. Sistem Identifikasi pembicara juga menyajikan dua sesi yang berbeda, yang pertama menunjukkan pencocokan pola (pattern matching), yaitu proses
pencocokan pola dengan menerima data yang telah diolah oleh ekstrasi ciri sebagai data input, proses tersebut akan mencocokan pola data masukan (input) dengan model referensi dan akan memberikan hasil berupa besarnya skor kesesuaian data input dengan pola-pola referensi yang ada, (f) Pembuatan keputusan yaitu yang akan menerima skor hasil pencocokan pola. Pada sistem identifikasi, pembuatan keputusan akan menentukan identitas pembicara
Seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan pertanyaan pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah rancangan model prototipe sistem biometrik suara yang dibangun menggunakan transformasi wavelet berbasis orthogonal daubenchies?”, “bagaimanakah implementasi model prototype sistem biometrik suara yang dibangun menggunakan transformasi wavelet berbasis orthogonal daubenchies?”, dan “Berapakah tingkat identifikasi (generalisasi) tertinggi yang dicapai dari sistem biometrik suara yang dibangun menggunakan transformasi wavelet berbasis orthogonal daubenchies?”. Pada dasarnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan diatas. Sehingga

tujuan penelitian ini adalah (1) diperolehnya rancangan model prototipe sistem biometrik suara yang
Modul training dan modul testing identifikasi dalam satu interface atau satu submenu, sedangkan modul perekaman terdapat dalam submenu yang berbeda (Gambar 4). Pada modul perekaman didalamnya terdapat suatu tahapan praproses (preprocessing) dan data hasil perekaman yang dihasilkan seluruhnya adalah 100 data suara

Pengguna sistem akan mengucapkan kata yang
telah ditentukan sebelumnya yaitu “Ilmu Komputer”. Data audio yang diperoleh akan diubah menjadi bentuk digital (vektor) menggunakan proses sampling dengan perangkat lunak MATLAB 7.0.1. Perekaman dilakukan selama 3 detik (1 detik sama dengan 1000 ms) dengan frekuensi sampling 20kHz (dalam 1 detik diperoleh data sebanyak 22.050 data). Akuisisi data dilakukan pada beberapa tahap. Pada tahap pertama dilakukan akuisisi data untuk pembelajaran sistem. Pada tahap kedua akuisisi data dilakukan untuk menguji sistem identifikasi. Dalam penelitian ini menggunakan frame (n) dengan lebar waktu 30 ms di mana tiap frame menyimpan data sebanyak 661 (hasil pembulatan dari 661,5) sampel dengan overlap (m) 50%, sehingga diperoleh jumlah frame dengan waktu perekaman selama 1 detik sebesar 65 frame (dengan tiap frame mengandung data sebanyak 22050 data). Dengan diperolehnya dalam 1 detik 65 frame maka suatu alat identifikasi seperti pada teknik konvensional. Proses biometrik (selanjutnya menggunakan kata “identifikasi”) dengan suara memiliki keunggulan secara ekonomis dibandingkan dengan karakteristik yang lain. Identifikasi dengan suara hanya membutuhkan alat tambahan berupa mikrofon dan kartu suara, sedangkan karakteristik-karakteristik yang lain misalnya sidik jari atau wajah membutuhkan alat tambahan seperti scanner. Hal ini sedikit banyak dapat menekan biaya pengembangan sistem. Identifikasi melalui suara termasuk dalam masalah nonalgorithmic (Fu, 1994). Walaupun sirkuit digital (komputer) mempunyai kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada otak manusia tetapi dalam memproses masalah-masalah nonalgorithmic otak memberikan informasi sinyal dalam domain waktu dan frekuensi secara bersamaan dan menganalisis sinyal yang tidak stationer, untuk itu ingin dikembangkan suatu konsep atau pendekatan lain dalam pemrosesan sinyal tanpa berbasiskan transformasi fourier yaitu dengan transformasi wavelet. Transformasi Wavelet merupakan sarana yang mulai populer untuk pemrosesan sinyal, seperti citra dan suara, dan transformasi ini belum banyak diaplikasikan untuk analisis suara, khususnya untuk identifikasi pembicara menggunakan teks berbahasa Indonesia. Dalam praktek, Transformasi Wavelet digunakan untuk ekstraksi ciri dalam sistem pengenalan suara karena mempunyai karakter khusus yang sesuai untuk analisis sinyal, termasuk sinyal suara. Transformasi wavelet sinyal suara menghasilkan resolusi waktu yang baik pada frekuensi tinggi dalam menentukan
lokasi awal suara dan parameterisasi ciri suara durasi pendek serta mampu menganalisis sinyal diskontinu (non stationary) secara akurat (Krisnan, 1994). Pengenalan pembicara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tahap yaitu identifikasi, deteksi dan verifikasi. Identifikasi pembicara merupakan proses untuk menentukan identitas pembicara melalui suara yang telah diucapkan, sedangkan deteksi pembicara merupakan proses penemuan suara pembicara dari sekumpulan suara, dan verifikasi pembicara merupakan proses untuk memverifikasi kesesuaian suara pembicara dengan identitas yang diklaim oleh pembicara. Pengenalan pembicara lebih menitikberatkan pada pengenalan suara pembicara dan tidak pada pengenalan ucapan pembicara (Ho, 1998) . sesi pendaftaran (enrollment sessions) atau fase training, sedangkan yang kedua menunjukkan sesi operasi atau fase testing. Di dalam fase training, tiap pembicara yang telah terdaftar memasukkan contoh (sampel) suaranya sehingga sistem dapat mulai dibangun atau dilatih berdasarkan reference model pembicara tadi. Secara umum sistem identifikasi pembicara mempunyai tahapan sebagai berikut dengan diagram
bloknya diilustrasikan pada Gambar 2 (Campbell,1997), (a) akuisisi data suara digital, yaitu proses untuk mengakuisisi ucapan pembicara (dalam sinyal analog) dan mengubahnya menjadi sinyal digital. Sinyal digital yang terbentuk berupa suatu vektor yang merepresentasikan suara pembicara, (b) frame blocking dan windowing, yaitu frame blocking merupakan proses segmentasi sinyal suara digital yang telah diakuisisi ke dalam durasi tertentu, sedangkan frame windowing adalah proses yang bertujuan untuk meminimalkan diskontinuitas (nonstationary) sinyal pada bagian awal dan akhir sinyal
suara, (c) ekstraksi ciri (feature extraction), yaitu mengekstrak data hasil akuisisi sehingga dihasilkan
data yang berdimensi lebih kecil tanpa merubah karakteristik sinyal suara, (d) pembentukan model
referensi pembicara, merupakan tahapan pembelajaran dan akan membentuk suatu model referensi
agar sistem dapat mengenali pembicara. Tahap ini memerlukan data berupa vektor-vektor ciri hasil dari ekstraksi ciri yang mencakup seluruh pembicara, model referensi yang terbentuk akan digunakan dalam pencocokan pola, pembentukan model referensi pembicara merupakan tahapan khusus yang dilakukan pada waktu awal sebelum sistem siap digunakan, tahap ini hanya dilakukan sekali dan setelah dilakukan maka sistem siap untuk digunakan, (e) dibangun menggunakan transformasi wavelet
berbasis orthogonal daubenchies, (2) diimplementasikannya model prototipe sistem biometrik suara
yang dibangun menggunakan transformasi wavelet berbasis orthogonal daubenchies serta 3).
Diperolehnya tingkat identifikasi (generlisasi) tertinggi yang dicapai dari sistem biometrik suara yang dibangun menggunakan transformasi wavelet berbasis orthogonal daubenchies. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melakukan identifikasi seseorang melalui kata-kata
yang diucapkan orang tersebut. Hasil yang diberikan pada identifikasi berupa identitas pengguna sistem. Sistem ini antara lain bermanfaat untuk melakukan identifikasi semacam aplikasi absensi, kontrol akses untuk fasilitas tertentu, remote akses untuk jaringan komputer, forensik, dan lain-lain, serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengolahan sinyal suara.

Metode Penelitian
Perancangan model sistem dibangun untuk memudahkan pengguna di dalam pengolahan data dan
melihat hasil yang diperoleh dari model sistem tersebut. Sistem yang akan dikembangkan disajikan
pada Gambar 3. Sistem tersebut terbagi ke dalam tiga modul yaitu modul perekaman, modul training
(pelatihan), dan modul testing (pengujian) identifikasi.



perekaman yang dilakukan selama 3 detik menghasilkan 195 frame. Proses ektraksi ciri pada penelitian ini, adalah data yang telah terbagi ke dalam frame-frame dan telah dikalikan dengan Hamming window. Masing-masing dari proses ekstraksi ciri diatas akan menghasilkan koefisien-koefisien (koefisien detail dan perkiraan) yang diperoleh dari hasil dekomposisi pada level 10 dan 15. Pada penelitian ini koefisien yang diambil sebagai masukan ke proses selanjutnya adalah koefisien yang dihasilkan dari frekuensi rendah yaitu koefisien perkiraan (approximation) karena bagian penting dari suatu sinyal terletak pada frekuensi tersebut, yang mampu memberikan identitas dari suatu sinyal. Koefisie yang dihasilkan akan membentuk suatu vektor. Algoritma berikut adalah untuk mencari koefisien detail dan perkiraan pada proses multiple dekomposisi:
- Sinyal yang masuk difilter ke dalam sinyal frekuensi rendah (low-pass filter) dan sinyal frekuensi tinggi (high-pass filter)
- Lakukan downsampling pada ke dua sinyal tersebut
- Low-pass frekuensi hasil downsampling selanjutnya melalui proses seperti pada tahap pertama
- Lakukan ulang sampai pada level yang diinginkan Pembentukan model referensi pembicara dan pencocokan pola dilakukan menggunakan JST Propagasi Balik. Arsitektur yang digunakan untuk
JST Propagasi Balik adalah Multi Layer Perceptron, dengan satu lapisan tersembunyi. JST terlebih dahulu dilatih untuk membentuk model referensi pembicara. Setelah tahap pembelajaran selesai dilakukan, JST dapat digunakan untuk melakukan pencocokan pola. Pada proses identifikasi, pembuatan keputusan

Pengantar

Frekuensi dalam citra mempunyai peranan penting. Namun demikian bagi orang awam, istilah "frekuensi citra" mungkin terasa aneh. Artikel pendek ini akan membahas apa itu frekuensi citra secara mendasar.

Citra = informasi 2 dimensi

Dalam pemutar musik mp3 baik itu software ataupun hardware, kita sering melihat ada kurva-kurva yang bergerak2x. Salah satu kurva yang bergerak-gerak dapat dilihat pada citra dibawah

image

Di dalam istilah sound processing, kurva yang bergerak-gerak ini menyatakan frekuensi dari suara yang sedang dimainkan oleh pemutar musik. Apa yang terjadi jika kurva ini hanya berupa sebuah garis lurus? Yap dapat ditebak bahwa tidak akan ada suara yang keluar dari pemutar musik tersebut. Dengan kata lain, tidak ada informasi yang berarti pada saat kurva tersebut berupa garis lurus. Nah! kita juga bisa mengatakan, bahwa baru ada informasi ketika ada frekuensi pada data suara tersebut.

Sebelum kita melanjutkan pembahasan, perlu rasanya diperjelas apakah itu artinya data dan informasi.

Data dan informasi

Sebagai ilustrasi, marilah kita melihat cerita pendek berikut ini

Ada sebuah kecelakaan kecil yang diakibatkan oleh seorang artist. Kejadian ini diliput oleh dua acara televisi yang berbeda, yang pertama acara berita siang dan yang kedua adalah acara infotainment. Durasi berita yang disampaikan oleh acara berita siang mungkin lebih pendek ketimbang durasi berita yang disampaikan oleh acara infotainment.

Data adalah suatu alat untuk menyampaikan suatu informasi. Sebagai contoh, informasi mengenai kecelakaan, mungkin bisa disampaikan dalam bentuk kata-kata yang sangat panjang, tapi isinya sama dengan kata-kata yang singkat dan jelas.

Salah satu faktor lain yang penting adalah nilai informasi. Semakin rendah kemungkinan suatu kejadian terjadi, semakin tinggi nilai informasinya. Misalkan, kita tau bahwa setiap detik akan ada mobil melintas melewati suatu jalan. Tetapi, kita akan lebih tertarik ketika mendengar bahwa ada berita bahwa ada tabrakan beruntun pada jalan tersebut yang menyebabkan pengemudinya luka ringan. Mengapa berita ini lebih menarik? Karena kejadian ini sangat jarang terjadi.

Tingkat kualitas informasi sebenarnya dapat dimodelkan dengan rumusan Shanon entropy. Well, berhubung kita tidak membahas mengenai kompresi, kita tidak akan membahas model matematik ini lebih jauh. Cukup tau, kalau mau mengukur kualitas informasi, bisa pakai model matematik Shanon entropy.

Kaitan informasi dengan frekuensi citra

Dalam pemrosesan citra, frekuensi citra acapkali dijadikan suatu acuan. Mengapa? Karena semakin tinggi frekuensi citra, semakin tinggi informasi yang ada. Jadi dengan kata lain, informasi citra disimpan dalam bentuk frekuensi.

Bagaimana cara menghitung frekuensi disuatu daerah di dalam citra? Apakah dari nilai grey level (RGB) di suatu pixel? Kurang tepat! Marilah kita lihat pada ilustrasi dibawah ini.

image image

Andaikan ada sebuah citra dengan ukuran (resolusi) 3x5 pixels. Perhatikan dua kemungkinan nilai pixels pada dua citra di atas. Apakah mereka mempunyai informasi yang tinggi? Jawabannya tidak. Karena kedua citra di atas hanyalah citra berwarna hitam (sebelah kiri), dan citra berwarna putih semua (sebelah kanan).

Perhatikanlah ketiga citra dibawah ini.

image image image

Yak, ketiga citra di atas mempunyai nilai informasi yang lebih tinggi, ketimbang kedua citra sebelumnya. Kalau diperhatikan citra pertama adalah sebuah citra yang berisi dua garis vertikal. Citra yang kedua, berisi 1 garis horisontal, dan citra yang ketiga memiliki 3 garis diagonal.

Jadi kita bisa katakan kalau frekuensi didapatkan dengan melihat selisih nilai grey level dua pixel. Semakin tinggi selisihnya (frekuensinya), semakin tinggi nilai informasinya pada daerah tersebut.

Kalau dilihat dari contoh di atas, kita bisa melihat ada sedikitnya 3 macam frekuensi. Frekuensi horizontal, frekuensi vertikal, dan frekuensi diagonal. Jadi dalam suatu citra, bisa saja memiliki frekuensi tinggi horizontal pada banyak daerah, namun hanya memiliki frekuensi rendah vertikal (contoh pada citra pertama).

Sebenarnya, nilai frekuensi ini lazim disebut sebagai edge (sisi). Jadi jika kita mendengar istilah edge detection, artinya metode tersebut akan mendeteksi frekuensi tinggi citra (edges yang ada dicitra) dari citra yang diolah. Dan, ada beberapa edge detection yang hanya dapat mendeteksi edge horizontal (frekuensi tinggi vertikal). Untuk penutup, marilah kita lihat salah satu hasil edge detection dari citra di bawah ini.

image image

Kita lihat pada citra edge (sebelah kanan). Kita lihat bahwa ada beberapa edge yang sangat terang, dan ada yang tidak begitu terang/jelas. Daerah yang memiliki edges terang memiliki frekuensi lebih tinggi ketimbang daerah yang memiliki edges kurang terang, atau tidak memiliki edge sama sekali.

Baik, sampai disini, kita telah membahas mengenai apa itu frekuensi. Frekuensi menjadi salah satu komponen terpenting dalam pengolahan citra, karena frekuensi menjadi salah satu penyimpan informasi citra. Kita tau bahwa dengan menggunakan frekuensi, kita bisa mendapatkan sisi-sisi (edges) dari citra

Mengenai Saya

Foto saya
kudus, Indonesia
belajar untuk mencapai kesuksesan Nama Kelompok: Esti Wijayanti(2009-51-135) Tri Ayu W.N(2009-51-142) Dwi H(2009-51-125) Maria Ulfa(2009-51-129) long live education